Oleh : Ciptadi Prasetyo, ST*
WARTA NASIONAL – Zohran Mamdani adalah seorang politisi muda Amerika Serikat keturunan India yang beragama Islam. Ia dan keluarganya merupakan imigran yang menetap di New York sejak ia masih kanak-kanak. Sebagai bagian dari komunitas minoritas Muslim di negara yang sekuler dan liberal seperti Amerika Serikat, Mamdani tumbuh dalam lingkungan yang tidak selalu ramah terhadap identitasnya.
Hidup sebagai Muslim di Amerika bukanlah perkara mudah. Banyak stigma dan prasangka yang menempel akibat narasi media yang sering menyudutkan komunitas Muslim. Label seperti radikal, eksklusif, atau intoleran kerap muncul, membentuk citra negatif yang sulit dilepaskan. Dalam kondisi seperti itu, keputusan Mamdani untuk terjun ke dunia politik bukan hanya langkah berani, tapi juga sebuah upaya membongkar stereotip yang selama ini membelenggu.

Namun, Mamdani berhasil membalikkan persepsi itu. Di media, ia dikenal sebagai politisi muda berusia 33 tahun yang memulai kariernya sebagai konsultan perumahan. Tak hanya itu, ia juga pernah menekuni dunia musik sebagai penyanyi rap. Gaya hidupnya yang egaliter dan sikap sosialnya yang terbuka menjadikannya sosok yang diterima oleh banyak kalangan, khususnya generasi milenial.
Dukungan terhadap Mamdani bukan semata karena identitas keagamaannya, melainkan karena integritas pribadi, rekam jejak profesional, serta gagasan-gagasan progresif yang ia bawa. Dalam visi kampanyenya, ia menyuarakan dukungan terhadap layanan bus gratis, penghentian sementara kenaikan sewa pada properti dengan sewa yang dikendalikan serta pendirian toko bahan makanan yang dikelola pemerintah kota (Wikipedia).
Ia dikenal vokal dalam menyuarakan keadilan sosial, termasuk secara terbuka menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina — sebuah sikap politik yang tidak populer di Amerika, bahkan menuai kemarahan dari Presiden Donald Trump saat itu. Dalam kampanyenya, Mamdani bahkan berani mengatakan, “Jika saya terpilih, saya akan menangkap Netanyahu.” (Kompas.com)
Pernyataan itu tentu menimbulkan kontroversi, tetapi juga mencerminkan keberpihakan Mamdani pada nilai-nilai kemanusiaan. Ia tidak dipilih karena agamanya, melainkan karena keberanian, keteguhan sikap, dan visi sosialnya yang menyentuh kebutuhan banyak warga New York — khususnya anak-anak muda yang mendambakan perubahan dari tatanan lama yang dianggap tidak lagi relevan.
Meski sempat diragukan oleh sebagian kalangan karena latar belakangnya, kini Mamdani justru menunjukkan bahwa identitas Muslim bukanlah penghalang untuk berkontribusi dan memimpin. Sebagai sesama Muslim, kita dapat melihat sosok Mamdani sebagai cerminan bahwa nilai-nilai Islam — ketika diterjemahkan dalam bentuk integritas, inklusivitas, dan keberpihakan pada keadilan — mampu berdiri tegak di tengah masyarakat Barat yang rasional dan sekuler.
Mamdani adalah harapan baru. Jika ia terpilih, maka kemenangan itu bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi wajah Islam yang lebih inklusif dan manusiawi di panggung dunia. Semoga keberaniannya menangkap simbol ketidakadilan seperti Netanyahu menjadi simbol bahwa keadilan dan kemanusiaan dapat menembus batas-batas identitas agama dan ras.
Pemalang, 1 Juli 2025