Oleh: dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua*
WARTANASIONAL.COM – Pada pertengahan abad 19, antara tahun 1853 – 1856 terjadi perang antara Kekaisaran Rusia dengan aliansi Kekaisan Ottoman, Inggris, Perancis dan Kerajaan Sardinia yang dikenal Perang Krimea. Ada kisah menarik yang terjadi di sebuah rumah sakit militer di Scutari (sekarang İstambul, Turki).
Kisah ini diawali dengan kondisi di tengah gelapnya lorong rumah sakit yang dipenuhi jeritan tentara luka, suara langkah pelan menyusuri lantai batu menjadi harapan mereka.
Sebuah lampu minyak kecil menyala di tangannya dan di balik cahaya itu berdiri seorang perempuan yang kelak dikenal dunia sebagai The Lady with the Lamp. Dia adalah Florence Nightingale. Sebuah nama yang sudah tidak asing lagi bagi kita terutama para perawat di seluruh dunia.
Saat mendatangi para tentara yang sakit, Florence tidak datang dengan seragam militer, tidak memegang jabatan komando, dan tidak menonjolkan suara keras.
Tetapi kehadirannya mengubah cara dunia memandang nilai sebuah nyawa, rasa kemanusiaan, dan makna kepemimpinan.
Saat terjadi Perang Krimea tersebut rumah sakit militer dipenuhi prajurit yang terabaikan dan bahkan sekarat. Hal itu terjadi bukan hanya karena luka yang diderita tapi akibat kondisi lingkungan yang tidak manusiawi. Florence datang memberi harapan dengan membersihkan ruang perawatan, mengatur sirkulasi udara serta memperbaiki sanitasi.
Saat malam tiba ia menyusuri bangsal sendirian dengan membawa lampu kecil ia menyapa, memperhatikan, menyentuh tangan yang gemetar. Dan dari situlah kisahnya menyala.
Sebutan The Lady with the Lamp bukan sekadar gambaran karena ia membawa lampu saat menyapa si sakit. Tetapi merupakan metafora dari kepemimpinan yang sunyi. Kepemimpinan yang hadir bukan untuk tampil tapi untuk membantu. Bukan untuk memerintah, tapi untuk memberi contoh.
Menjadi paradoks saat pandangan dunia yang sering mengaitkan kepemimpinan dengan podium, pangkat, atau popularitas.
Tetapi Florence membalikkan semuanya dengan menunjukkan bahwa kehadiran yang konsisten, perhatian yang tulus, dan kerja yang senyap bisa berdampak lebih besar dari teriakan komando.
Florence adalah pemimpin tanpa jabatan Ia memimpin lewat tindakan yang tidak menunggu perubahan dari atas. Ia mulai dari bawah dari lantai rumah sakit yang kotor, dari luka yang terbuka dan dari pasien yang tak punya suara.
Hingga layak kalau Florence menjadi simbol keperawatan modern dan sampai saat ini menjadi kebanggaan para perawat dan seluruh insan kesehatan di dunia.
Bagaimana dengan kondisi sekarang ?
Meskipun kita hidup di jaman yang berbeda dengan Florence tetapi perjalanan hidupnya selalu menjadi inspirasi.
Pekerjaan kita saat ini ada yang menjadi perawat, bidan atau dokter dan mungkin bisa jadi bukan tenaga kesehatan tapi kita bisa menjadi pembawa lampu dalam versi kita masing-masing. Dalam pekerjaan, keluarga, komunitas, kita bisa hadir mendengarkan, memperbaiki, menenangkan, dan menyinari. Disaat itulah ruh kepemimpinan kita akan nampak. Karena kepemimpinan bukan soal posisi, tapi pengaruh.
Seringkali pengaruh dimulai dari satu langkah keci…
…dengan satu cahaya kecil…
…di tengah gelap yang paling sunyi.
Selamat Hari Perawat Nasional 17 Maret 2025, terima kasih telah menjadi cahaya harapan dalam sunyi yang tak selalu terlihat.
*) Dokter yang juga aktivis sosial kemasyarakatan serta pegiat dunia digital ***