Oleh : dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua*
WARTANASIONAL.COM – Sobat Inspiratif, Pagi ini kita akan bicara sesuatu yang ringan saja. Setelah sepekan lebaran dengan seabrek atktivitas yang menyenangkan dan juga sekaligus melelahkan.
Kita pernah mendengar bahkan merasakan gerakan di alis mata, kelopak mata atau pun bibir. Orang sering menyebutnya dengan kedutan yang saya belum menemukan padanan kata lain di kamus bahasa Indonesia.
Kedutan di mata, bibir, atau anggota tubuh lainnya sering membuat kita tertegun. Sebagian orang menganggapnya gangguan saraf ringan, sebagian lain percaya itu pertanda sesuatu baik atau buruk yang akan terjadi. Dalam budaya Jawa kedutan dianggap lebih dari sekadar gerakan otot. Ia adalah pesan alam, peringatan batin, bahkan pertanda rezeki atau perjumpaan.
Secara medis, kedutan disebut fasciculation atau myokymia yakni kontraksi otot ringan yang tidak disengaja. Paling sering terjadi di kelopak mata, alis, atau pipi, dan biasanya tidak berbahaya.
Dr. Andrew Weil, dalam bukunya Spontaneous Healing menjelaskan bahwa kedutan ringan sering kali muncul akibat kelelahan, stres, konsumsi kafein berlebihan, atau kurang tidur. Otot yang kelelahan atau sistem saraf yang teriritasi mengirim sinyal kecil yang membuat otot berkedut secara ritmis.
Twitching muscles are often your body’s way of saying: slow down, rest, or nourish yourself differently. (Weil A. Spontaneous Healing. New York: Ballantine Books; 1995. p. 142.)
Namun dalam tradisi Jawa kedutan tak sekadar dijelaskan lewat anatomi dan fisiologi. Ia diresapi sebagai bahasa isyarat. Kedutan alis kiri atas, misalnya, dipercaya sebagai tanda akan datangnya kabar baik atau pertemuan menyenangkan. Kedutan kelopak mata kanan bawah diyakini pertanda hati yang akan senang. Keyakinan ini tertulis dalam naskah-naskah kuno Jawa dan diwariskan secara lisan lintas generasi.
Selanjutnya di jaman modern saat ini kemudian muncul pertanyaan, mana yang benar, ilmu medis atau kearifan lokal?
Mungkin jawabannya bukan “salah satu”, melainkan “keduanya”. Ilmu memberi kita pengetahuan rasional—tentang sistem saraf, otot, dan pemicu kontraksi. Sedangkan budaya memberi ruang pada rasa, tafsir, dan pengharapan.
Dalam konteks hidup yang penuh ketidakpastian, kepercayaan terhadap isyarat tubuh bisa memberi ketenangan psikologis dan memperkuat hubungan dengan alam dan sesama.
Jika tubuh adalah bahasa, maka kedutan bisa menjadi bisikan lembut—entah dari sistem saraf yang butuh istirahat, atau dari batin yang ingin didengar. Maka ketika kedutan datang, berhentilah sejenak. Dengarkan tubuh, dan tengoklah hati. Mungkin keduanya sedang bicara hal yang sama: “Ojo kesusu, urip kuwi kudu dirungu lan diresapi.”
Tafsir kedutan ala budaya lokal boleh dihormati sebagai kearifan lokal. Namun tidak boleh diyakini sebagai kebenaran mutlak atau dijadikan dasar keputusan hidup.
Firasat sejati lahir dari hati yang jernih. Seperti halnya firasat kenabian yang diberikan kepada Nabi Yusuf tentang akan datangnya masa paceklik di masa itu.
Sebagai pungkasan kita perlu menghayati sabda Rasulullah SAW :
Laa tiyarata, wa khairuha al-fa’lu
(“Tidak ada tiyarah, dan yang terbaik adalah optimisme.”)
Tiyarah = menganggap tanda sebagai penentu nasib
Pemalang 9 April 2025
*) Dokter yang juga aktivis sosial kemasyarakatan serta pegiat dunia digital ***