Al-Qur’an & Nalar Syariah Bagi Kehidupan Individu dan Masyarakat

Oleh: Lukman Hakim, S.H.I.,M.H.*

WARTA NASIONAL – Sejak diturunkannya al-Qur’an, nash-nash atau teks ayatnya dari Sang Author [Allah] tidak pernah mengalami distorsi ataupun perubahan, bahkan tidak pernah menjadi ayat-ayat sakerdotal [ayat-ayat bid’ah] ataupun disisipinya. Sehingga, ketika secara teknis ada oknum yang ingin merubah satu huruf pun akan mudah diketahui. Sebab, Alloh menjamin keberlangsungan ayat-ayat itu secara konsisten sampai hari kiamat.

Baik melalui cara Allah sendiri yang tidak bisa kita ketahui, juga melalui para penghafal al-Quran itu. Dan nalar keterjagaan ayat yang dapat kita pahami, adalah melalui para penghafal atau yang disebut khuffadz l-Qur’an di segala penjuru dunia.

Di dalam al-Qur’an, ayat-ayat Alloh mempunyai pengelompokan dan kandungan. Seperti ayat-ayat tentang tauhid, akhlak, kisah nabi-nabi dan orang-orang terdahulu. Juga mengenai individu, sosial, hukum, pengetahuan alam, Ibadah, muamalah dan lain-lain yang kesemuanya bisa menjadi pedoman hidup manusia di muka bumi ini. Di sinilah pula, yang membedakan al-Qur’an dengan kitab-kitab terdahulu karena cakupan al-Quran sangat kompleks dan menyeluruh meskipun al-Quran dalam penyampaian pesan-pesannya memakai bahasa abstrak, terkadang ambigu juga berbentuk semiotik.

Ketika al-Qur’an ditafsirkan dan dipahami ayat-ayatnya, hasilnya bersifat profan. Karena yang sakral, tetap dan konsisten adalah teks-teks itu sendiri beserta nilainya. Tentang semua pemahaman yang menyentuh ayat-ayat tadi, adalah hasil produk manusia melalui pikiran-pikiran genius [juhabadzah] para ulama, para mufassir, mujtahid, juga ilmuan. Maka dengan semua latar belakang dan metodologi mereka itu melahirkan pula banyak corak tafsir, fiqh, juga penelitian-penelitian lainnya.

Pada tahap awal pemahaman generasi shahabat-yang tumbuh setelah Nabi sebagai al-Quran berjalan-, corak tafsir sudah mulai muncul. Dan dalam melakukan penafsiran hanya pada ayat-ayat yang sulit dipahami saja. Tentu perselisihan dalam memahami suatu ayat masih sangat sedikit. Apalagi penggunaannya bersifat ijmaly [global], juga penjelasan makna lughowi [bahasa] yang diperpendek. Dan lagi di zaman itu, pembukuan tafsir sangat minim, bahkan boleh dibilang belum ada pembukuan karena belum lazim.

Baca Juga :  Pemimpin Sejati Tak Takut Digantikan: Belajar dari Ibrahim

Namun corak tafsirnya sangat menarik, dari tafsirnya yang bersifat universal, tafsirnya didasarkan riwayat dari Nabi, juga tafsir dilakukan secara lisan atau dari mulut ke mulut, juga cenderung terjamin kebenarannya karena mereka pernah hidup bersama Rasulullah. Jadi corak tafsirnya didasarkan metode tafsir bil ma’tsur atau bi l-riwayah. Saat itu, tafsir yang muncul adalah Tafsir Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari sampai Abdullah bin Zubair. Sedangkan fiqh-ilmu fiqh di zaman itu belum lahir karena lebih melekat pada penafsiran Nabi dan Sahabat.

Pada masa tabi’in dan tabi’u l-tabi’in selain manhaj tafsir, baru lahir produk-produk fiqh para imam madzhab, yang mulai banyak corak. Dari imam hanafi [Abu Hanifah] yang kental sekali dengan ro’yunya, imam maliki yang sangat kental fiqhnya dengan hadits, imam syafi’i yang seimbang antara ro’yu [akal] dan hadits, juga imam hanbali atau yang biasa disebut dengan imam ibnu hanbal juga melahirkan produk fiqh yang berbeda. Di masa tabi’in ini, mulai lahir metode-metode baru dalam kajian pemikiran hukum Islam.

Pada puncak masa tabi’u l-tabi’in ini, nalar syariah dalam al-Qur’an semakin mudah dipahami oleh khalayak umum. Lebih-lebih mulai banyak karya para ulama yang memproduksi selain tafsir dan fiqh, seperti ilmu ushul fiqh, ilmu qowaid l-fiqh, ilmu nahwu-shorof dan ilmu lainnya yang sangat membantu dalam memahami kalimat dan maksud ayat. Melalui ilmu-ilmu tersebut, dasar-dasar syariah menjadi tampak jelas. Sedangkan tanpa ilmu-ilmu tersebut, maksud atau tujuan syariah menjadi gelap.

Lepas dari perkembangan ilmu-ilmu tersebut untuk pemahaman lebih dalam, baik dari masa lampau sampai sekarang, semuanya dimaksudkan untuk melestarikan syari’at Alloh dengan penalaran yang baik tanpa merubah teks-teksnya sama sekali sebagaimana yang terjadi pada kitab perjanjian lama dan baru itu.

Baca Juga :  Memahami Batas Keinginan: Antitesa Hirarkhi Kebutuhan Maslow

Karena, perkembangan sosial secara otomatis melahirkan tuntutan pembaharuan dan pemahaman hukum juga lainnya. Maka ketika saat itu ayat turun pada masa nabi dengan setting sosial di masa beliau, konteksnya akan berbeda dengan masa sekarang. Yang artinya, cara menangani dan menyikapi sesuatu juga boleh berbeda. Sehingga yang terpenting, adalah nilai-nilainya yang harus dipertahankan dengan penanganan yang berbeda. Maka tak berlebihan ketika ushul fiqh klasikpun telah merumuskan konsep itu. Bahwa :
تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة
“Perubahan hukum, disebabkan perubahan zaman dan tempat”

Dari konsep ini kita tahu massifnya perkembangan hukum dan pembaharuannya, adalah keniscayaan yang harus dijalani. Sebab, selama nalar syariah tetap utuh untuk mengatur hak individu dan sosial secara baik, tentu itu adalah yang diinginkan oleh al-Quran secara ideal.

Seperti pandangan monogami yang mengikat individu modern hari ini, yang hadir di negara-negara timur tengah, baik dipengaruhi atau tidak oleh negara penjajah sebelumnya seperti inggris yang berpaham monogami atas pernikahan. Karena konsep keadilan dalam pernikahan hanya dapat terwujud dan lebih cocok dengan monogami. Meski ushul fiqh mengidentifikasi asal usul pernikahan adalah poligami, dengan kaidahnya yang sangat terkenal :
الأصل في الزواج التعدد
“Hukum asal menikah adalah poligami”

Sedangkan mengenai individu kaitannya dengan kehidupan sosial, semangat al-Quran merekam tentang pribadi yang baik harus memiliki integritas yang tinggi, komitmen, soliditas serta disiplin juga jujur. Yang semuanya dapat kita pahami dari semangat al-Quran dan hadits Nabi. Dan, untuk urusan ibadah, nabi memang punya perhatian baik. Namun semua dikembalikan pada pribadi masing-masing tanpa memaksa orang lain.

Baca Juga :  Makna Menahan Diri dalam Puasa: Perspektif Kesehatan dan Spiritualitas 

Pandangan-pandangan ini memberikan gambaran tentang bagaimana worldview al-Quran di tengah-tengah kehidupan individu dan masyarakat. Dengan semangat al-Quran, nalar syariah dapat menyelesaikan masalah kompleks yang ada dalam kehidupan modern sekarang ini. Sebab, al-Quran dengan melampaui setting masa lalunya mengajarkan dan menghendaki kehidupan ideal yang diidamkan oleh masyarakat modern tanpa tercabut dari prinsip-prinsip dasar syari’ah. Jadi idealitas al-Qur’an adalah apa yang terbaik bagi masyarakat sekarang ini.

Seperti yang telah terbentuk dalam kehidupan di negara-negara maju dengan indikatornya yang paling menarik yaitu “kesadaran”, sehingga tanpa pantauan atau control pengampu kebijakanpun kebaikan-kebaikan di masyarakat modern dan integritasnya berjalan dengan baik. Dari tata ruang yang bersih dari sampah, tradisi menjaga hak orang lain di ruang publik, tradisi aman dan ramah bagi anak-anak di jalan maupun di ruang terbuka, sampai menghargai privasi orang lain adalah bentuk kehidupan yang menciptakan atmosfir positif bagi seluruh lapisan masyarakat, dari anak-anak, remaja, dewasa sampai tua.

Dan apa yang terjadi di masyarakat modern – seperti di jepang misalnya – dengan seluruh budayanya yang baik, dengan kemajuan belajarnya akan hal yang baik adalah cerminan masyarakat islami yang harus diikuti. Karena faktanya, justru merekalah yang dapat mempraktikkan kehidupan islam meski tanpa kitab suci. Dari kedisiplinan, kebersihan, keteraturan dan keamanannya adalah hal yang sangat baik. Sedangkan di masyarakat muslim sendiri – karena minimnya kesadaran – seringkali mengalami gagal paham dengan pandangan – pandangan yang baik tersebut. Dan itu kenapa masyarakat muslim justru melahirkan malapraktik dalam kehidupan karena minimnya penghayatan dan kesadaran yang tidak diintegrasikan dalam budaya menghafal ayat.

*) Guru Bahasa Arab MTs Negeri 1 Pemalang

banner 336x280