Hukum Islam dan Politisasi Agama

Oleh: Lukman Hakim,S.H.,M.H.*

WARTANASIONAL.COM – Saat agama dipolitisasi, bukan tidak mungkin hukum-hukum Allah juga dipolitisasi. Karena seorang pencetus revolusi umpamanya, akan menerapkan hukum agama tersebut menurut kepentingan politiknya, yang bukan untuk kemaslahatan umum.

Sehingga, beberapa lawan-lawan politiknya akan dikebiri haknya, bahkan bisa jadi dibunuh atas nama agama ataupun hukum-Nya. Seperti yang terjadi di negara arab misalnya, yang awal berdirinya didominasi oleh kelompok wahabi untuk mempengaruhi kerajaan.

Yang secara skriptural dan konservatif, hukum islam diterapkan tanpa melihat konteksnya dan asal-usul hukumnya. Dan secara pasti, banyak menelan korbannya pula. Dengan banyak disaksikan hukuman cambuk bagi pemabuk, rajam bagi pelaku perzinaan dan potong tangan bagi pencuri serta hukuman mati bagi yang murtad.

Begitu pula yang terjadi di negara lainnya, seperti Sudan misalnya. Ketika Ja’far Muhammad Numeiri melakukan “Revolusi Islam”, yang mendapat dukungan pemikiran dan koalisi dari Hasan Turabi, seorang pendiri partai National Islamic Front. Maka lawan politiknya pun dibunuh mati hanya karena perbedaan ideologi politik, dan hanya berlawanan secara politik, seperti Mahmud Muhammad Thaha yang menjadi korbannya.

Tentu, ini bukan tidak mungkin setiap negara dengan landasan agama apapun dapat pula terobsesi akan hal yang sama. Karena setiap mayoritas berpotensi menghegemoni, – seperti di sudan dengan aliran sunny sekalipun – dengan aliran apapun secara umum. Meski akan tetap ada kemungkinan pengecualian. Sebab, tidak menjamin faham yang baik ketika menjadi mayoritas akan selalu melindungi kaum minoritas.

Oleh adanya faktor dalam suatu mayoritas, yang menghendaki diterapkannya hukum dari mayoritas itu. Hanya saja, akan berbeda jika aspirasi mayoritas digabung dengan aspirasi minoritas untuk menjadi undang-undang ataupun suatu ketetapan. Yang meski pada awalnya cukup alot, rumit dan deadlock, namun bila tujuan kemaslahatan umum dapat difahami bersama akan menarik konsekuensi serta kesadaran untuk mentaati.

Maka menurut hemat penulis, hukum yang baik bukan menghegemoni dan menyingkirkan minoritas dengan tafsir tunggalnya. Namun, dapat hidup berdampingan untuk menciptakan ketetapan hukum bersama dengan menarik suatu kemaslahatan. Karena, bukankah dilalah hukum dalam islam itu yang qoth’i. Sedangkan cara menerapkannya bisa saja meminjam budaya setempat, ataupun melakukan kesepakatan bersama melalui aspirasi-aspirasi kelompok. Dan di sini, nilai-nilai dasar perjuangan hukum islam dapat dipertahankan bahkan dijaga. Melalui tawaran formulanya yang berbeda, namun dengan nilai yang sama dan menjadi tujuan syariat. Sebagaimana tentang qishosh misalnya, yang dalam Q.S. al-Baqarah : 2 : 178 dalam penetapan hukumnya diambil dari “sejarah penetapan qishosh di masa bani israel” menurut tafsir al-Qurthuby sesuai riwayat al-Bukhori, al-Nasai, Daru Quthnyi dan dari Ibnu Abbas. Artinya qoth’iy secara nash disebabkan oleh setting masa lampau yang berhubungan dengan sejarah umat terdahulu saat menegakkan keadilan. Maka, penafsiran sebagaimana dalam Ibnu Katsir tentang ayat tersebut tentang qishosh juga ditafsiri dengan :

كتب عليكم العدل في القصاص أيها المؤمنون

Melalui penafsiran ini, kita jadi tahu bagaimana kontekstualisasi ayat tersebut sesuai zamannya dengan tetap mempertahankan qoth’iy l-dilalahnya, yaitu keadilan. Sehingga dalam berbagai situasi dan zaman apapun penegakan keadilan adalah hal paling asasi ketika bicara hukum. Sebab, keadilan adalah kebutuhan masyarakat dalam kondisi apapun, demi menjaga hak-hak kemanusiaan yang ada sejak lahir dan menjadi fitrahnya.***

*) Guru Bahasa Arab MTs Negeri 1 Pemalang

banner 336x280