Pemimpin Sejati Tak Takut Digantikan: Belajar dari Ibrahim

Oleh: dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua*

WARTANASIONAL.COM – Prosesi serah terima jabatan Bupati dan Wakil Bupati baru saja digelar di banyak daerah di Indonesia. Fenomena ini selalu menarik untuk direnungkan, karena pada dasarnya kepemimpinan bukan hanya milik kepala daerah, gubernur, atau presiden.

banner 336x280

Kepemimpinan ada di berbagai tingkatan—di organisasi, di partai politik, di komunitas kecil seperti RW dan RT, bahkan dalam perjalanan sekalipun. Setiap orang yang diberi amanah untuk memimpin pasti akan sampai pada satu titik di mana ia harus menyerahkan tongkat estafet kepada orang lain.

Namun apa yang sering terjadi ? Hampir tidak pernah ada estafet yang disampaikan. Barangkali bukan semata kesalahan pemimpin sebelumnya tapi karena sistem lah yang menjadikan seperti itu.Seolah kita lupa kalau kepemimpinan bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi tentang bagaimana memastikan estafet kebaikan terus berjalan.

Lihatlah Nabi Ibrahim. Beliau adalah seorang nabi yang sukses, dekat dengan Tuhan, dan memiliki kedudukan mulia di hadapan manusia maupun di sisi-Nya. Namun, di tengah segala keistimewaan itu, beliau masih berdoa memohon keturunan.

Mengapa? Bukan sekadar karena naluri seorang ayah yang ingin memiliki anak, tetapi karena beliau ingin ada penerus yang bisa menjaga dan menyebarkan kebenaran. Baginya, tugas menyampaikan risalah Tuhan bukan tugas pribadi semata, melainkan tanggung jawab yang harus diwariskan dari generasi ke generasi.

Doa itu pun dikabulkan. Ismail dan Ishak lahir sebagai generasi penerus, dan mereka tumbuh dengan bimbingan seorang ayah yang tidak hanya mengasihi, tetapi juga mendidik dengan penuh kesadaran bahwa suatu saat, kepemimpinan harus dilanjutkan. Nabi Ibrahim tidak ingin kejayaan kebaikan berhenti pada dirinya. Beliau tidak takut untuk melahirkan penerus yang bahkan bisa lebih hebat darinya.

Berbeda dengan banyak pemimpin di zaman sekarang yang justru takut tersaingi. Ada yang begitu keras mempertahankan posisi, seolah-olah tanpa dirinya dunia akan runtuh. Ada pula yang enggan membimbing kader, takut jika ada orang lain yang lebih mampu dan akhirnya menggantikan. Padahal, kepemimpinan sejati bukan tentang berapa lama seseorang duduk di kursi kekuasaan, tetapi seberapa kuat ia membangun fondasi agar kebaikan terus berlanjut setelahnya.

Sejarah mencatat banyak pemimpin yang sukses bukan karena mereka hebat sendirian, tetapi karena mereka berhasil melahirkan generasi penerus yang lebih kuat. Salah satu contohnya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Di masanya, ia memimpin dengan penuh keadilan, tetapi yang lebih luar biasa adalah caranya mempersiapkan generasi penerus.

Ia tidak sekadar memerintah, tetapi juga membangun sistem dan membimbing orang-orang di sekitarnya agar tetap berada di jalan kebaikan. Hasilnya? Setelah ia wafat, kepemimpinan yang ia tinggalkan tetap berjalan dengan baik, karena ia tidak membangun kejayaan di atas nama pribadinya, melainkan di atas prinsip yang kokoh.

Maka, seorang pemimpin yang bijak seharusnya sadar bahwa tugasnya bukan hanya memimpin untuk hari ini, tetapi juga memastikan ada yang siap melanjutkan esok hari. Karena sejatinya, kepemimpinan yang paling mulia bukan yang bertahan selamanya, tetapi yang meninggalkan jejak kebaikan yang tak lekang oleh waktu.

*) Dokter yang juga aktivis sosial kemasyarakatan serta pegiat dunia digital ***

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *