Oleh: Abu Rokhmad*
WARTA NASIONAL – UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) telah berusia lebih dari setengah abad. Secara umur, UU ini sangat matang dan cukup waktu untuk sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat. Secara substansi juga sangat solid, meski pernah digugat beberapa kali di Mahkamah Konstitusi.
Sekalipun demikian, ada satu subtansi UU Perkawinan yang tidak kunjung tuntas dilaksanakan. Substansi itu adalah pencatatan perkawinan yang disebut secara tegas dan lugas dalam Pasal 2 ayat (2). Seharusnya, setelah sekian lama berlaku semua perkawinan wajib dicatatkan. Kalaupun masih ada yang belum atau tidak dicatatkan, jumlahnya makin lama makin sedikit. Sayangnya, harapan itu tidak terjadi.
Tidak ada data yang pasti, berapa jumlah pernikahan yang tidak dicatatkan. Beberapa tahun silam, seorang pejabat yang berwenang dalam bidang kependudukan dan catatan sipil pernah mensinyalir angka yang sangat mencengangkan: 35 juta. Dari mana angka ini? Mungkin perkiraan dari berbagai indikator dan asumsi yang dianggap masuk akal.
Angka 35 juta merupakan jumlah kumulasi dari tahun-tahun sebelumnya hingga sekarang. Angka ini mungkin juga fluktuatif, dikurangi dengan pasangan yang wafat dan telah mencatatkan perkawinannya melalui isbat nikah. Dan ditambah dengan pasangan yang baru menikah dan tidak atau belum mencatatkan perkawinannya pada pejabat yang berwenang.
Jika dilihat dari permohonan isbat nikah 2024 pada Pengadilan Agama, MA “hanya” mencatat 60.923 perkara. Jika angka ini disepakati sebagai angka rata-rata, lalu dikalikan 50 tahun, jumlahnya hanya 3.046.150 kasus. Kita tidak sedang berdebat dan beradu data, karena memang kedua belah pihak sama-sama tidak memiliki data.
Yang kita tahu, jumlah angka perkawinan cenderung menurun dan angkanya sangat kecil jika dibandingkan usia menikah. Sejak 2019 hingga 2024, angka pernikahan konsisten turun dan sebaliknya angka perceraian merangkak naik. Angka pernikahan pada 2019 masih di atas 2 juta (2.033.585). Berturut-turut setelah itu, angka pernikahan yang dicatat selalu turun (2020:1.780.346, 2021: 1.743.450, 2022: 1.719.592). Pada 2023, angka pernikahan makin anjlok menjadi 1.577.493. Angka pernikahan di tahun 2024 juga turun, tercatat sebanyak 1.478.424 nikah, lebih rendah 99.069 nikah dari tahun sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan usia nikah, misalnya dari usia 20-34 tahun, sebanyak 66.849.456 (diolah dari data BPS 2024). Maka angka yang menikah dicatatkan hanya 0,02 % dari penduduk usia 20-34 tahun. Apakah betul asumsi bahwa sebenarnya yang menikah cukup banyak namun yang dicatatkan hanya sedikit.
Perlu Ketegasan
Kita sepakat bahwa pencatatan nikah masih menjadi persoalan serius dan harus mendapat perhatian baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Perkawinan yang tidak dicatatkan, baik yang sah menurut hukum agama (nikah siri) apalagi yang tidak sah, keduanya sangat merugikan, utamanya bagi isteri dan anak-anak.
Soal nasab dan status anak, waris, kepastian hukum dan tertib administrasi kependudukan merupakan resiko hukum di depan mata bagi perkawinan yang tidak dicatatkan. Bagi Kementerian Agama RI, resiko perkawinan tidak dicatatkan memiliki implikasi bukan hanya di dunia tetapi juga di akhir nanti. Khususnya menyangkut kepastian apakah perkawinan yang tidak dicatatkan betul-betul sah secara agama?
UU pertama yang mengatur soal pencatatan perkawinan bagi umat Islam di Indonesia adalah UU Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. UU Perkawinan yang berlaku sekarang, sebenarnya menegaskan kembali UU Pencatatan Nikah di atas dengan beberapa penyesuaian menurut aspirasi dan semangat zamannya.
‘Perkawinan dicatat’ merupakan amanat UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2). Pasal ini terkesan kurang lugas dan tegas dalam mengatur soal pencatatan perkawinan. Tambahan kata ‘wajib’ di antara kata ‘perkawinan’ dan ‘dicatat’ mungkin dapat menjadi engine dalam upaya memasyarakatkan pencatatan perkawinan. Aspirasi dan semangat zamannya, mungkin menghendaki agar negara tidak usah terlalu intervensi dalam urusan ‘ranjang’ sehingga Pasal 2 ayat 2) di atas tidak memiliki implikasi apa-apa.
Jika dibandingkan, UU Pencatatan Nikah kelihatannya lebih tegas dan lugas, dan bahkan tersedia sanksinya. Pasal 1 ayat (1) berbunyi: Perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Lalu dijelaskan: “maksud Pasal ini adalah agar nikah, talak dan rujuk menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Ayat (2) memberikan ancaman bagi yang tidak mengikuti ayat (1): bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari PPN dikenakan hukuman karena merupakan satu pelanggaran.
Dalam konteks modern, semestinya pencatatan nikah sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat. Hampir semua aspek kehidupan membutuhkan legalitas yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Bermula dari kutipan akta nikah, lahirlah akta kelahiran, Kartu Keluarga, KTP, Ijazah dan seterusnya. Investasi tenaga dan waktu diawal saat mencatatkan perkawinan, namun hati dan pikiran tenang karena resiko dan implikasi perkawinan sudah terdapat kepastian.
Sebenarnya administrasi dan persyaratan perkawinan sekarang sudah sangat sederhana dan digitalized, serta aman secara syar’i. Beberapa persayaratan yang dianggap memberatkan, pada dasarnya ringan dan semata-mata untuk kebutuhan pasangan suami isteri yang akan menikah. Keharusan pasangan calon pengantin untuk datang ke KUA dan bertemu dengan petugas, sebenarnya untuk memastikan secara syar’i dan administratif bahwa seluruh syarat sudah terpenuhi dan tidak ada halangan perkawinan.
Mendudukkan Isbat Nikah
Sebagai negara dengan penduduk masyoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia berpeluang menjadi laboratorium fiqh yang progresif. Ada banyak waqa’i (peristiwa hukum) terjadi, tetapi belum disebut dalam literatur fiqh.
Dalam hukum keluarga, kreasi juga muncul dalam bidang perkawinan. Salah satunya adalah konsep isbat nikah sebagai implikasi dari pencatatan perkawinan. Konsep isbat nikah—sependek pengetahuan kami—tidak dikenal dalam literatur fiqh. Konsep ini juga tidak ada dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam PP Nomor 9 Tahun 1975. Sebagaimana diketahui, UU ini merupakan rujukan utama pelaksanaan perkawinan di Indonesia.
Istilah isbat nikah baru muncul pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebagai informasi, KHI merupakan implementasi dari Inpres Nomor 1 Tahun 1991. KHI memberikan landasan hukum Islam yang jelas, integral dan komprehensif—khususnya dalam perkawinan. KHI merupakan fiqh khas Indonesia (sebagai hukum materiil) yang dipedomani oleh para hakim agama, penghulu dan semua pihak dalam memutus dan menjalankan hukum perkawinan.
KHI tidak mendefiniskan apa yang disebut dengan isbat nikah. Ia hanya menyebutkan pada Pasal 7 ayat 2 bahwa: “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.”
Pada ayat 3, KHI menyebutkan prasyarat kapan dan kondisi bagaimana isbat nikah dapat dilakukan. Pertama, adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan; Kedua, hilangnya akta nikah; Ketiga, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; Keempat, adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan; dan Kelima, perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Perkawinan.
Isbat nikah sering dinarasikan oleh pejabat maupun peneliti sebagai solusi bagi perkawinan yang tidak dicatatkan. Dengan diisbatnikahkan, maka mereka dapat memiliki kutipan akta nikah dari KUA. Karena dipandang sebagai solusi yang efektif, maka dibuatlah program isbat nikah kelililing, di dalam maupun di luar negeri.
Isbat nikah semestinya didudukkan pada proporsinya. Seharusnya, ia dilaksanakan sesuai dengan filosofi, maqashid fiqhi, yuridis dan sosiologisnya. Isbat nikah wajib dilaksanakan secara proporsional dan terukur, sesuai hukum acara sidang isbat nikah yang berlaku.
Seperti diketahui, isbat nikah pada dasarnya merupakan solusi sementara (al-makharij al-muaqqatah) atas masalah pencatatan perkawinan yang ‘kewajibannya’ diabaikan oleh sebagaian masyarakat. Sebagai solusi sementara pada periode transisi atau adaptasi, isbat nikah hendaknya tidak boleh berlaku selamanya (sebagai solusi permanen). Perlu batas waktu kapan isbat nikah terakhir digunakan dan UU Perkawinan dilaksanakan secara konsisten. Jika isbat nikah berlangsung seperti selama ini, maka isbat nikah—sebenarnya—telah menganulir ketentuan tentang pencatatan nikah. Dengan demikian, regulasi pencatatan perkawinan betul-betul bergigi dan dilaksanakan secara tertib dan konsisten.
*) Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag RI