Menu

Mode Gelap
Wakil Rektor II INSIP Jadi Pembicara di Young AI Global Forum Kuala Lumpur Malaysia Pertamina Jamin Ketersediaan Energi di Jateng dan DIY saat Libur Panjang Maulid Nabi 2025 11 Poin Nota Kesepahaman Antara Pemkab dan Massa Aksi Disepakati dan Ditandatangani, Berikut Isinya Hari Pelanggan Nasional 2025, BRI KC Pemalang Berikan Bunga Mawar, Kue dan Cokelat untuk Nasabah Agung Dewanto: Tak Ada Blok-blokan, Kader Penuhi Syarat Silahkan Daftar untuk Jadi Ketua DPC PDIP Pemalang Banteng Senior se-Jateng Dikumpulkan di Panti Marhaen, Ini Kata Slamet Efendi

Opini

Memahami Batas Keinginan: Antitesa Hirarkhi Kebutuhan Maslow

badge-check


					dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua Perbesar

dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua

Oleh : dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua*

WARTANASIONAL.COM – Apakah manusia pernah benar-benar merasa puas?
Apakah itu hanya kebutuhan semata atau apa sebenarnya yang dicari?

Hidup yang bermakna menurut Aristoteles adalah hidup dalam kebajikan dan rasionalitas. Hal ini sejalan dengan ajaran agama yang mengajarkan kita bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

Ada satu kisah menarik dari seorang filsuf yang hidup pada abad ke 4 SM di pinggiran Turki – saat itu menjadi koloni Yunani. Dia adalah Diogenes dari Sinope. Ia dikenal sebagai “Aristoteles yang gila” karena perilaku kegilaannya yang selalu membawa obor ke penjuru kota untuk mencari orang jujur. Sosok yang memilih hidup dalam kesederhanaan dan kebebasan.

Dikisahkan suatu hari Alexander Agung, raja Macedonia sang pendiri kota Alexanderia di Mesir, datang menemuinya dan berkata, “Aku adalah Alexander, Raja Besar.” Diogenes hanya tersenyum dan menjawab, “Dan aku adalah Diogenes, si pencari kebebasan.” Alexander pun menawarkan apa saja yang Diogenes inginkan. Namun sang filsuf hanya meminta satu hal: “Tolong geser sedikit, karena kau menghalangi sinar matahari.”

Jawaban Diogenes itu mengejutkan. Seorang raja besar menawarkan segalanya tetapi ia hanya meminta sesuatu yang sederhana—cahaya matahari.

Kisah ini mengajarkan bahwa kebahagiaan dan kenyamanan sejati bukan datang dari memiliki segalanya, tetapi dari memahami apa yang benar-benar kita butuhkan.

Kadang kita berpikir bahwa setelah mencapai titik tertentu dalam hidup kita akan merasa puas. Tetapi kenyataannya, keinginan manusia bersifat tak terbatas. Setelah satu terpenuhi muncul yang lain. Jika kita tidak memimpin diri kita sendiri dalam mengelola keinginan kita bisa terjebak dalam siklus tanpa akhir—selalu merasa ada yang kurang, selalu mencari sesuatu yang lebih.

Terus apa sebenarnya yang kita cari?
Apakah pengakuan atau aktualisasi diri seperti yang dikatakan Maslow sebagai kebutuhan tertinggi manusia ?
Sepertinya tidak juga karena ketika segalanya sudah tercapai, pengakuan tidak lagi menjadi hal yang dicari.

Apakah harta?
Jika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, tidak menjadikan kita berhenti mencari sesuatu yang lain.
Lalu apakah kebutuhan akan kenyamanan yang menurut maslow ada di urutan ketiga hirarkhi kebutuhan manusia ?
Hmm bisa jadi.

Kenyamanan sering kali datang dalam bentuk sederhana—pemandangan alam yang indah, perjalanan yang menyegarkan, obrolan kecil dengan orang-orang yang kita cintai. Sayangnya, tidak semua orang berani menerima kenyamanan, karena terkadang kenyamanan juga membawa konsekuensi. Ada rasa takut kehilangannya, takut tergantung padanya, atau bahkan takut tidak layak untuk merasakannya.
Untuk itu kita perlu memohon maaf kalau kita merasa nyaman tetapi tidak bagi orang lain atau menjadi beban bagi mereka. Karena kebutuhan setiap orang mungkin berbeda. Kita nyaman saat ngobrol tetapi ternyata bisa jadi orang lain terbebani.

Meskipun kita sadar kenyamanan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan atau dikejar mati-matian. Ia hadir sebagai anugerah. Seperti aliran air yang mengalir tanpa bisa dikendalikan sepenuhnya, kenyamanan datang ketika kita belajar menerima perjalanan dengan apa adanya. Meskipun kenyamanan datang tidak bisa dipilih bukan berarti kita harus berhenti mencari dan terus belajar. Barangkali memberikan yang terbaik kepada orang lain bisa membuat kita nyaman. Hingga bisa jadi kenyamanan adalah kebutuhan tertinggi kita saat ini.

Untuk itu kita perlu memahami di mana posisi kita dalam hirarkhi kebutuhan Maslow?
Apakah kita masih berfokus pada kebutuhan dasar atau terfokus pada aktualisasi diri atau kenyamanan?

Menurut Aristoteles, kita hanya perlu menikmati hidup dengan kesadaran, bukan hanya mengejar kepuasan tanpa batas.
Bahagiakan diri dengan hal-hal sederhana yang membawa ketenangan. Sebab, pada akhirnya, memimpin diri sendiri adalah tentang memahami batas keinginan.

Bukankah Kekayaan itu banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah hati yang cukup (HR Bukhori – Muslim).

*) Dokter yang juga aktivis sosial kemasyarakatan serta pegiat dunia digital ***

Baca Lainnya

Bandingkan Pendapatan Anggota Dewan Berdasarkan Prinsip Setara

3 September 2025 - 02:13 WIB

Dr. Emrus Sihombing

Nilai-nilai Pancasila sebagai Alat Perekat Persatuan Bangsa

1 September 2025 - 06:10 WIB

Energi Masyarakat yang Terkuras oleh Kebijakan Pemerintah Daerah

14 Agustus 2025 - 10:48 WIB

Ketua Yayasan Institut Agama Islam Pemalang, Heri

Upaya Munaslub Golkar Menguat dan Kabarnya Sudah Dapat Restu Istana, Apakah Sekedar Wacana Saja?

31 Juli 2025 - 05:54 WIB

Bahlil Lahadalia

Zohran Mamdani: Harapan dari Minoritas untuk Mewarnai Politik Amerika

2 Juli 2025 - 04:09 WIB

Ciptadi Prasetyo, ST
Trending di Opini
error: Content is protected !!