Menu

Mode Gelap
Keberanian Memimpin di Tengah Ketakutan: Pelajaran dari Kemenangan Mamdani Zainal Petir Sebut Ormas yang Bertindak seperti Aparat, Eksekusi Bangunan atau Sweeping Bisa Dipidana Jateng Fair 2025, Nikmati Sensasi ‘Racing Simulator’ di Stan Bapenda Resmi Dibuka! Kejuaraan Terbuka Antar Dojo Karate-Do Gojukai Piala Bupati Pemalang se-Jateng Hijaukan Kembali Seluruh Pesisir Jateng dengan Gerakan Menanam dan Merawat Mangrove Pertamina dan Hiswana Dukung Operasional BBM ke BPBD dalam Pengoperasian Pompa Penyedot Air

Opini

Keberanian Memimpin di Tengah Ketakutan: Pelajaran dari Kemenangan Mamdani

badge-check


					dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua Perbesar

dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua

Oleh : dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua

WARTA NASIONAL – Akhir pekan ini dunia kembali mencatatkan sejarah. New York, sebuah kota multikultural yang tak pernah tidur, baru saja memilih seorang walikota muslim. Bagi sebagian warga, ini adalah harapan baru. Adanya kepemimpinan yang membawa nilai keadilan, transparansi, dan keberpihakan pada semua golongan. Namun bagi sebagian lainnya, muncul rasa khawatir. Bukan karena kompetensinya diragukan, tapi karena prasangka dan ketakutan. “Apakah kami bisa bekerjasama dengannya?” “Apakah visinya akan berpihak kepada kami?”

Kemenangan ini mencerminkan fenomena klasik di mana orang sering kali takut bukan karena seseorang tidak mampu, melainkan karena image dan identitas yang belum mereka pahami. Padahal sejarah membuktikan, pemimpin besar kerap lahir dari minoritas yang justru membawa angin segar peradaban. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, seorang asing di tanah Mesir namun menjadi bendahara negara karena kejujuran dan kebijaksanaannya.

Ketika Sayyidina Umar bin Khattab mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima, banyak yang takut karena masa lalunya di pihak musuh. Namun Umar tegas berkata, “Aku tidak memilih masa lalu seseorang, tapi masa depan yang bisa ia bawa.”

Kita hidup dalam dunia yang berubah. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk melepaskan prasangka dan memberi ruang pada kualitas dan nilai, bukan sekadar identitas.

Sebagaimana perkataan Syaikh Ibn ‘Athaillah:
“Takutlah engkau pada prasangka yang membuatmu buta pada kebenaran.”

Dalam pergaulan sehari-hari, sikap serupa sering muncul tanpa kita sadari. Kita cenderung membatasi kepercayaan hanya kepada mereka yang “satu kelompok”, “satu selera”, atau “satu latar belakang”. Padahal, bisa jadi orang yang paling bisa kita andalkan adalah mereka yang selama ini kita curigai hanya karena penampilan, cara bicara, atau perbedaan pendapat. Kita lupa bahwa kolaborasi tak selalu butuh kesamaan, tapi butuh kepercayaan dan keterbukaan. Dalam dunia kerja, komunitas, hingga pertemanan, saat kita mulai menilai orang dari akhlak dan kemampuannya, bukan dari identitas luarnya, di situlah kualitas hubungan tumbuh. Seperti kata pepatah Arab, “Al-ma’rifah fi shuhbi la fi syaklihi”—Kenalilah seseorang dari pergaulannya, bukan dari rupanya.

Maka, mari kita buka hati. Dunia ini membutuhkan lebih banyak pemimpin baik, apapun latar belakangnya. Karena keberanian untuk memberi kepercayaan, adalah awal dari peradaban yang besar.

Pemalang, 30 Juni 2025

*) Dokter yang juga aktivis sosial kemasyarakatan serta pegiat dunia digital ***

Baca Lainnya

Menanti Janji Kampanye Bupati dan Wakilnya

16 Juni 2025 - 08:41 WIB

Untung Budiarso

Prabowo Aman, Maka Gibran Juga Aman

12 Juni 2025 - 05:59 WIB

Tony Rosyid

Perubahan Perilaku Diri Sendiri, Sebelum Merubah Orang Lain

16 Mei 2025 - 02:39 WIB

Ciptadi Prasetyo, ST

Laki-laki dan Potensi Imamnya

15 Mei 2025 - 03:44 WIB

Lukman Hakim,S.H.I.,M.H

Al-Qur’an & Nalar Syariah Bagi Kehidupan Individu dan Masyarakat

9 Mei 2025 - 02:10 WIB

Lukman Hakim, S.H.I.,M.H.
Trending di Opini