Oleh : dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua
WARTA NASIONAL – Akhir pekan ini dunia kembali mencatatkan sejarah. New York, sebuah kota multikultural yang tak pernah tidur, baru saja memilih seorang walikota muslim. Bagi sebagian warga, ini adalah harapan baru. Adanya kepemimpinan yang membawa nilai keadilan, transparansi, dan keberpihakan pada semua golongan. Namun bagi sebagian lainnya, muncul rasa khawatir. Bukan karena kompetensinya diragukan, tapi karena prasangka dan ketakutan. “Apakah kami bisa bekerjasama dengannya?” “Apakah visinya akan berpihak kepada kami?”
Kemenangan ini mencerminkan fenomena klasik di mana orang sering kali takut bukan karena seseorang tidak mampu, melainkan karena image dan identitas yang belum mereka pahami. Padahal sejarah membuktikan, pemimpin besar kerap lahir dari minoritas yang justru membawa angin segar peradaban. Lihatlah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, seorang asing di tanah Mesir namun menjadi bendahara negara karena kejujuran dan kebijaksanaannya.

Ketika Sayyidina Umar bin Khattab mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima, banyak yang takut karena masa lalunya di pihak musuh. Namun Umar tegas berkata, “Aku tidak memilih masa lalu seseorang, tapi masa depan yang bisa ia bawa.”
Kita hidup dalam dunia yang berubah. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk melepaskan prasangka dan memberi ruang pada kualitas dan nilai, bukan sekadar identitas.
Sebagaimana perkataan Syaikh Ibn ‘Athaillah:
“Takutlah engkau pada prasangka yang membuatmu buta pada kebenaran.”
Dalam pergaulan sehari-hari, sikap serupa sering muncul tanpa kita sadari. Kita cenderung membatasi kepercayaan hanya kepada mereka yang “satu kelompok”, “satu selera”, atau “satu latar belakang”. Padahal, bisa jadi orang yang paling bisa kita andalkan adalah mereka yang selama ini kita curigai hanya karena penampilan, cara bicara, atau perbedaan pendapat. Kita lupa bahwa kolaborasi tak selalu butuh kesamaan, tapi butuh kepercayaan dan keterbukaan. Dalam dunia kerja, komunitas, hingga pertemanan, saat kita mulai menilai orang dari akhlak dan kemampuannya, bukan dari identitas luarnya, di situlah kualitas hubungan tumbuh. Seperti kata pepatah Arab, “Al-ma’rifah fi shuhbi la fi syaklihi”—Kenalilah seseorang dari pergaulannya, bukan dari rupanya.
Maka, mari kita buka hati. Dunia ini membutuhkan lebih banyak pemimpin baik, apapun latar belakangnya. Karena keberanian untuk memberi kepercayaan, adalah awal dari peradaban yang besar.
Pemalang, 30 Juni 2025
*) Dokter yang juga aktivis sosial kemasyarakatan serta pegiat dunia digital ***