WARTA NASIONAL – Dugaan kasus kekerasan seksual terhadap anak menimpa salah satu pelajar SMP di wilayah Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang.
Ironisnya, kasus tersebut telah berdamai dengan kompensasi senilai Rp100 juta oleh terduga pelaku kepada keluarga korban yang diselesaikan di tingkat Pemerintah Desa.
Hal itu menuai polemik dan sorotan dari berbagai pihak, salah satunya dari Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, Harun Abdul Khafizh.
Gus Harun sapaan akrab Harun Abdul Khafizh mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dalam menangani dugaan kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Kabupaten Pemalang.
Pihaknya menegaskan, kejahatan seksual terhadap anak merupakan tindak pidana serius yang harus diproses secara hukum tanpa kompromi.
Hal tersebut disampaikan Harun usai menghadiri acara Peringatan Hari Disabilitas Internasional 2025 di Kajen, Kabupaten Pekalongan, pada Rabu, 17 Desember 2025.
Menurutnya, negara telah memiliki perangkat hukum yang jelas untuk menindak pelaku, yakni Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Jika terjadi tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, saya kira harus ditindak tegas. Aparat penegak hukum harus mengambil langkah serius agar kasus seperti ini tidak terulang,” tegas Anggota Komisi B DPRD Jateng itu.
Gus Harun menekankan bahwa UU TPKS harus dijalankan secara maksimal, termasuk penerapan pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Politisi Golkar itu menyampaikan, penegakan hukum yang tegas menjadi kunci utama dalam memberikan efek jera sekaligus perlindungan bagi korban.
Selain penegakan hukum, Harun juga mendorong peran aktif pemerintah daerah melalui organisasi perangkat daerah (OPD) terkait untuk meningkatkan pelayanan dan perlindungan terhadap korban. Mulai dari pendampingan psikologis, layanan sosial, hingga edukasi kepada masyarakat mengenai ancaman dan potensi kejahatan seksual.
Ia secara khusus menyoroti kerentanan anak penyandang disabilitas terhadap kekerasan seksual.
Menurutnya, keterbatasan komunikasi dan kondisi tertentu membuat anak disabilitas memiliki risiko yang lebih tinggi menjadi korban.
“Baik anak disabilitas maupun non-disabilitas sama-sama rentan, tetapi anak penyandang disabilitas memiliki tingkat kerentanan yang lebih besar. Ini harus menjadi perhatian bersama,” ujarnya.
Harun menambahkan, dampak kekerasan seksual terhadap anak bersifat multidimensi, mulai dari trauma psikologis, gangguan sosial, hingga terhambatnya pendidikan dan masa depan korban. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk lebih peduli dan meningkatkan kewaspadaan di lingkungan masing-masing.
Terkait kasus dugaan kekerasan seksual anak di Pemalang, Harun menyatakan keprihatinannya dan mendorong pemerintah daerah setempat untuk memberikan perhatian serius terhadap korban.
Ia juga membuka kemungkinan untuk berkoordinasi dan turun langsung guna memastikan penanganan kasus berjalan sesuai aturan hukum.
“Kekerasan seksual terhadap anak adalah ancaman bagi masa depan generasi bangsa. Pencegahan dan penanganannya harus dilakukan secara bersama-sama,” pungkasnya.***












