Al-Qur’an, Kitab Klasik dan Sajian Kisah

Oleh: Lukman Hakim, S.H.I.,M.H.*

WARTANASIONAL.COM – Salah satu metode al-Quran dalam dakwah, mengambil beberapa contoh teladan tokoh masa lampau sebelum Nabi kita. Dan, kebanyakan contoh teladan disajikan dalam bentuk kisah. Seperti kisah Nabi Ya’kub misalnya, dengan percakapan bagaimana anak tetap bertahan dalam tauhid sampai bagaimana anak-anaknya bersikap baik dengan saudaranya.

banner 336x280

Kemudian kisah luqman al-hakim, yang menanamkan konsep tauhid kepada anaknya dan menjelaskan bagaimana bersosial dengan baik. Juga kisah kejahatan fir’awn serta bagaimana dua orang Nabi yaitu Musa [Moses] a.s. dan Harun [Aaron] a.s. itu menasehatinya dengan cara lembut atas perintah Allah SWT.

Semuanya disajikan dengan bentuk cerita ataupun dialogis yang dapat dengan mudah dipahami oleh seluruh lapisan umat islam, meskipun rata-rata bahasa al-Quran memakai sastra yang tinggi, yang dalam istilah pesantren harus memakai ilmu balaghoh.

Begitu pula kisah-kisah yang disebutkan di beberapa kitab klasik, sebagian besar memang tidak menyebut nama, sebab menyangkut etika cerita dan hanya dalam rangka mengambil pelajaran itu tanpa tersandung akhlak tercela yang disebut “ghibah”. Seperti kisah-kisah yang disebutkan dalam kitab fadloil al-ibadah, ataupun durrotun nasihin misalnya. Semuanya, untuk diambil pelajaran kisahnya. Bukan memvonis perilaku seseorang ataupun terjerembab ghibah tadi.

Kisah dalam al-Quran karena dari wahyu, tentu originalitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan banyak pula menguak kisah-kisah yang sebelumnya termuat oleh kitab pendahulunya seperti injil [gospel, bible] maupun taurat [torah, pentateukh] yang dalam penuturannya sedikit berbeda namun dalam esensi yang sama. Seperti kisah Nabi Adam saat memakan buah khuldi misalnya, sampai Nabi Adam ketakutan – dalam versi Injil – setelah memakan buah khuldi lalu bersembunyi. Dan, penuturan yang berbeda itu disebabkan “setting masa dan waktu” antara kitab pendahulu dengan al-Quran. Sehingga pemilihan kata menjadi berbeda, di samping bahasa yang tentunya berbeda karena kebangsaan nabi-nabi yang berbeda pula.

Sedangkan kisah-kisah yang disajikan dalam kitab klasik itu sebenarnya mengadopsi metode dakwah al-Quran yang terasa membumi. Melalui cerita, antara penutur cerita dengan pendengar cerita menjadi hangat, dekat dan tervisualkan. Sebab, syariat al-Quran tanpa sajian kisah-kisah akan terasa rigid dan kaku. Oleh adanya posisi Pemilik Syariat yaitu Allah dan Rasulullah dengan masyarakat arab yang saat itu sedang mengalami masa obskurantismenya. Tentu, untuk menarik simpati sekaligus dalam menyampaikan esensi syariat akan mudah diterima dan dicerna melalui kisah-kisah agar terjadi kesinambungan masa lalu dengan masa setelahnya yang tetap menyisakan rasa penasaran manusiawi itu.

Meskipun banyak tuduhan terhadap penuturan cerita dalam kitab-klasik klasik tersebut dengan takhayul dan khurafat, juga penulisan cerita israiliyat, namun kisah itu merupakan bagian dari semua agama-agama, umat dan sejarah masa lampau sebelum datangnya Islam. Yang tetap tidak ada salahnya, jika hanya bermaksud untuk mengambil pelajaran dari kisah itu.

Sebab, al-Quran pun menyampaikan dakwahnya sebagian dengan cerita orang-orang terdahulu. Dan, adalah hak al-Quran jika sosok teladan maupun tokoh jahat itu disebutkan namanya – meski terkadang dengan nama gelar, telahan atau laqab -, sebab yang menceritakan adalah yang mempunyai hak syariat, yaitu Alloh dan Rasulullah. Sedangkan cerita di kitab-kitab klasik – karena dibuat oleh para ulama – tidak banyak menyebutkan nama, oleh adanya keterikatan etika yang mendasarinya. Juga bukan tentang mengutip cerita isroiliyatnya, namun untuk sekedar mengkoneksikan ke masa lampau sekaligus mengambil contoh keteladanan untuk masa sekarang.

Apalagi sejarah panjang dakwah tauhid, juga berkesinambungan dari zaman Nabi Adam, Syith, Idris, Nuh sampai Nabi Muhammad SAW, baik masing-masing ajaran yang dibawa memiliki syariat orisinalnya, ataupun ada yang mengadopsi bahkan memodifikasi syariat nabi sebelumnya yang disebut dalam ushul fiqh sebagai “syar’u man qoblana” dengan tetap penunjukan syariat-NYA menjadi hak prerogative Tuhan.

*) Guru Bahasa Arab di MTs Negeri 1 Pemalang

banner 336x280