WARTA NASIONAL – Kasus penolakan seorang anak berusia enam tahun yang dinilai “hiperaktif” oleh pihak Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Buah Hati, Pemalang, menuai gelombang kritik tajam dari berbagai kalangan.
Salah satu di antaranya datang dari praktisi hukum dan akademisi, Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, yang menilai tindakan sekolah tersebut sebagai bentuk diskriminasi pendidikan dan pelanggaran terhadap hak konstitusional anak.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya pada 4 November 2025, seorang anak dinyatakan tidak diterima masuk SDIT Buah Hati Mulyoharjo, Pemalang dengan alasan belum memenuhi “kriteria kesiapan emosi” dan sering menunjukkan perilaku hiperaktif saat di Taman Kanak-Kanak.
Orang tua calon siswa, bernama Adel (35), menyatakan kekecewaannya atas keputusan tersebut. Menurutnya, anaknya memiliki semangat belajar tinggi dan perilaku yang masih wajar sesuai usianya.
“Kami kecewa, anak kami dianggap belum siap hanya karena aktif dan kadang tantrum. Itu wajar di usia enam tahun,” ujar Adel saat dikonfirmasi media.
Dinas Pendidikan Kabupaten Pemalang (Dindikbud) melalui Sekretarisnya, Titien Soewastiningsih Soebari, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah meminta klarifikasi kepada yayasan yang menaungi TKIT dan SDIT Buah Hati.
Dindikbud menyebut adanya “kekurangan kapasitas komunikasi publik” dari pihak sekolah, dan menyampaikan bahwa yayasan berencana mendatangi keluarga untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara kekeluargaan.
Menanggapi hal itu, Praktisi Hukum Dr (c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, yang juga dikenal sebagai pengajar hukum dan konsultan di bidang perlindungan anak dan administrasi publik, menyampaikan pendapat hukum keras terhadap kebijakan tersebut.
“Menolak anak hanya karena dianggap hiperaktif merupakan bentuk diskriminasi pendidikan. Hal itu melanggar Undang-Undang Dasar 1945, UU Sisdiknas, UU Perlindungan Anak, dan UU Penyandang Disabilitas,” tegas Imam Subiyanto dalam keterangannya kepada awak media, pada Rabu 5 November 2025.
Ia menjelaskan, berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan tanpa diskriminasi.
Selain itu, Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, termasuk anak dengan karakteristik khusus.
“Anak hiperaktif tidak bisa dijadikan alasan untuk ditolak masuk sekolah. Justru sekolah wajib menyesuaikan metode pembelajaran agar ramah terhadap kondisi setiap anak. Jika sekolah Islam sekalipun menolak anak karena aktif, maka nilai rahmatan lil ‘alamin hanya tinggal slogan,” imbuh Imam.
Potensi Pelanggaran Hukum
Lebih lanjut, Imam Subiyanto menilai bahwa tindakan SDIT Buah Hati Pemalang dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, karena merugikan hak anak dan orang tuanya secara psikologis serta sosial.
Ia menyarankan orang tua calon siswa untuk menempuh langkah hukum sebagai berikut:
1. Mengajukan Gugatan PMH ke Pengadilan Negeri Pemalang terhadap Yayasan TKIT/SDIT Buah Hati atas tindakan diskriminatif dan pelanggaran hak pendidikan anak.
2. Melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena perbuatan sekolah dapat dikategorikan sebagai perlakuan diskriminatif terhadap anak.
3. Mengadukan ke Ombudsman Republik Indonesia atas dugaan maladministrasi dalam layanan pendidikan.
4. Meminta evaluasi izin operasional sekolah kepada Dinas Pendidikan Pemalang agar kasus serupa tidak terulang di kemudian hari.
“Tindakan seperti ini tidak boleh dibiarkan. Pendidikan adalah hak universal anak, bukan hak istimewa bagi mereka yang dianggap tenang dan patuh. Kalau sekolah justru menolak anak karena hiperaktif, maka yang perlu direhabilitasi bukan anaknya, tapi sistem pendidikannya,” tegas Imam dengan nada kritis.
Sebagai praktisi hukum yang juga aktif dalam pembinaan sosial, Imam menyoroti aspek moral dari peristiwa ini. Menurutnya, lembaga pendidikan Islam seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter dan kasih sayang, bukan ajang seleksi berdasarkan kelainan perilaku.
“Islam tidak mengajarkan diskriminasi. Rasulullah justru menunjukkan teladan bagaimana menghadapi anak-anak dengan kelembutan dan kesabaran. Maka tindakan menolak anak dengan dalih hiperaktif itu bertentangan dengan nilai dakwah pendidikan Islam itu sendiri,” ujarnya.
Imam Subiyanto mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Pemalang untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penerimaan siswa di sekolah-sekolah swasta dan berbasis keagamaan.
“Dinas Pendidikan harus memastikan bahwa tidak ada lagi kebijakan diskriminatif dalam PPDB di wilayah Pemalang. Pemerintah daerah wajib menegakkan prinsip pendidikan inklusif sesuai amanat UU,” tandasnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa masih banyak lembaga pendidikan yang belum sepenuhnya memahami prinsip pendidikan inklusif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Publik menantikan langkah tegas pemerintah daerah agar kejadian serupa tidak kembali terjadi. Menolak anak karena hiperaktif sama saja dengan menolak masa depan bangsa.” pungkasnya.***















