Oleh: Nur Kholis*
WARTA NASIONAL – Sekali waktu saya datang ke rumah kerabat istri. Sudah tradisi jika ada saudara yang datang seluruh anggota keluarga menyambut dan tak lupa mengenalkan anggota keluarga yang baru. Seorang anak kecil dikenalkan, diminta untuk menjabat tangan saya. Tangannya terangkat setengah niat, tatapannya kosong, kemudian ia kembali tertunduk menatap layar gawai.
Tanpa senyuman, tanpa sepatah kata, tanpa rasa penasaran. Seketika itu saya tersadar bahwa hal semacam ini sekarang sudah umum terjadi dan bukan hal yang aneh lagi, anak tertunduk kepalanya sembari memegang gawai sambil berjalan, duduk ataupun berbaring, di manapun dan kapanpun. Ia seakan menjadi identitas baru bagi anak yang lahir di era digital.
Fenomena semacam ini bisa disebut sebagai generasi zombi: anak-anak yang ada secara fisik, tetapi secara sosial tampak “mati rasa”. Mereka tidak bodoh, tidak juga malas. Mereka hanya bertumbuh kembang dan terjebak dalam dunia yang memberikan stimulasi digital dengan sangat cepat, tetapi terlalu sedikit menyediakan sentuhan interaksi manusiawi.
Saat Anak Kehilangan Ruang Bicara
Dalam psikologi komunikasi, komunikasi interpersonal tidak hanya melibatkan unsur berbicara dan mendengar. Namun lebih dari itu, ia adalah ruang untuk belajar tentang bagaimana mengontrol emosi, berempati dan memaknai diri. Anak bisa memahami dirinya bukan dari layer gawai, tetapi dari reaksi orang lain terhadap ceritanya. Dari tatapan mata dan sentuhan tangan orang tua, dari intonasi suara yang menenteramkan, dari perkataan sederhana seperti, “Dari tadi ayah mendengarkan nak, teruskan saja.” atau “Nah gitu donk, semangat ya!”
Permasalahannya, ruang-ruang komunikasi itu kini semakin terbatas bahkan sulit ditemukan. Gawai sering kali mengambil alih fungsi ‘yang hadir’, bukan hanya sekadar perangkat pendukung. Gawai menjadi solusi orangtua untuk menenangkan anak. Mereka lebih tenang jika anak di rumah diam sambil bermain gawai ketimbang anak aktif beraktifitas yang dirasa mengganggu. Padahal di balik ketenangan itu, terdapat proses psikologis yang secara perlahan menggerus kemampuan anak untuk berinteraksi secara menyeluruh dengan orang lain.
Pada akhirnya anak lebih akrab berinteraksi dengan layar daripada dengan orang di hadapannya. Ia cepat menanggapi notifikasi, namun lambat terhadap sapaan. Ia mahir menekan tombol, namun canggung dalam berkomunikasi.
Orangtua dan Krisis Komunikasi
Sering kali, orang tua menjadi pihak yang paling khawatir, sekaligus tanpa mereka sadari turut memperburuk masalah. Kesibukan, tuntutan ekonomi dan beban kehidupan mengakibatkan komunikasi dengan anak menjadi bersifat transaksional: menyuruh, mengingatkan, menegur. Komunikasi yang semestinya mendekatkan hubungan berubah menjadi perintah yang membuat anak semakin enggan membuat percakapan dengan orangtua.
Dalam psikologi komunikasi, orang tua merupakan significant communicator – figur komunikasi terpenting dalam perkembangan kepribadian anak. Bukan institusi pendidikan, bukan gawai, bukan platform sosial. Bagaimana cara orang tua mendengarkan dan merespons akan menentukan sikap anak apakah merasa perlu berbicara atau lebih baik diam saja.
Saat anak bercerita kemudian orangtua menghentikan, menilai, atau membandingkan, ia akan belajar satu hal penting: berbicara tidak selalu aman. Dan saat ia merasa bahwa berbicara tidak aman, memilih untuk diam adalah opsi yang paling rasional. Gawai kemudian menjadi tempat pelarian yang tidak menghakimi dan senantiasa ada.
Menghidupkan Kembali Percakapan di Rumah
Untuk menghadapi generasi zombi, solusinya bukan sekedar membatasi akses terhadap gawai, melainkan menghidupkan kembali percakapan. Karena komunikasi interpersonal tidak muncul dari peraturan, melainkan dari hubungan.
Orang tua harus memastikan dirinya hadir kembali dengan cara yang komunikatif, bukan hanya hanya sekedar hadir secara fisik. Selalu siap mendengarkan tanpa tergesa-gesa mengoreksi. Mendampingi untuk bertanya tanpa menginterogasi.
Dalam psikologi komunikasi, kehadiran semacam ini disebut presence with empathy: hadir dengan kesadaran dan empati. Anak yang sering didengarkan akan belajar merangkai kata, mengekspresikan emosi, dan menghormati percakapan. Anak yang merasa nyaman berkomunikasi di rumah tidak akan mudah kehilangan jati dirinya di lingkungan luar.
Teknologi tidak perlu dihindari atau dianggap musuh. Gawai dapat menjadi bahan percakapan, bukan kendala dalam berkomunikasi. Orang tua bisa bertanya, “Kamu tonton apa?” bukan instruksi, “Matikan hp-mu!” Dari situ, percakapan akan berkembang, bukan perselisihan.
Fenomena generasi zombi adalah cermin dari krisis komunikasi di rumah-rumah kita. Anak bukan kekurangan hiburan, tetapi kekurangan percakapan. Tidak kekurangan informasi, tetapi kekurangan atensi emosional.
Psikologi komunikasi mengingatkan kita bahwa anak tumbuh bukan hanya dari apa yang ia lihat, tetapi dari bagaimana ia dilibatkan dalam komunikasi. Di era digital dimana dunia ditampilkan dalam layar, suara orang tua dan kehadirannya justru sangat dibutuhkan.
Jika rumah kembali menjadi ruang dialog yang aktif, anak tidak lagi menjadi zombi di dunia nyata. Ia akan tumbuh sebagai manusia yang mahir berkomunikasi: mampu bicara, mendengar, dan memahami sesama.
*) Mahasiswa S2 MKPI UIN Saizu Purwokerto















