WARTA NASIONAL – Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah, sering dijadikan momentum bagi banyak warga untuk mempererat kepedulian sosial, terutama kepada anak-anak yatim.
Di berbagai desa di Pemalang, tradisi santunan anak yatim masih dijaga dengan hangat hingga sekarang. Berikut beberapa kegiatan yang masih dijaga hingga sekarang:
1. Doa Bersama dan Bingkisan Sederhana

Biasanya, santunan dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Warga bergotong royong mengumpulkan donasi berupa uang, sembako, hingga perlengkapan sekolah. Anak-anak yatim kemudian diundang untuk berkumpul di balai desa atau mushola setempat.
Suasananya sederhana, tetapi penuh makna. Anak-anak datang mengenakan baju rapi, duduk berjajar membaca doa bersama, kemudian menerima amplop santunan dan nasi kotak. Tradisi ini menjadi pengingat, bahwa di awal tahun Hijriah, sudah semestinya kepedulian sosial kembali diteguhkan.
2. Menghidupkan Rasa Saling Peduli
Tradisi santunan ini bukan hanya tentang berbagi materi, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki satu sama lain. Orang-orang yang merantau pun seringkali tetap menitipkan donasi meskipun sedang jauh dari kampung halaman.
Di tengah zaman yang serba praktis, kebersamaan dalam menyiapkan santunan dari urunan warga sampai menyiapkan hidangan tetap dilaksanakan dengan suka cita.
3. Kebaikan yang Terus Menyala
Meskipun jumlah santunan tidak besar, kebahagiaan anak-anak yatim yang pulang dengan senyum dan bingkisan adalah hal yang membuat warga merasa ikatan sosial tetap terjalin. Beberapa desa bahkan berinisiatif membuat program rutin agar bantuan tak berhenti hanya di bulan Muharram, tapi bisa berlangsung sepanjang tahun.
Tradisi santunan Muharram membuktikan bahwa di tengah arus modernitas, semangat gotong royong dan kepedulian masih hidup. Dari tangan-tangan sederhana, harapan anak-anak yatim tumbuh bersama doa dan kebaikan yang terus mengalir. (Rifqi Ma’arif)***