Menu

Mode Gelap
Wakil Rektor II INSIP Jadi Pembicara di Young AI Global Forum Kuala Lumpur Malaysia Pertamina Jamin Ketersediaan Energi di Jateng dan DIY saat Libur Panjang Maulid Nabi 2025 11 Poin Nota Kesepahaman Antara Pemkab dan Massa Aksi Disepakati dan Ditandatangani, Berikut Isinya Hari Pelanggan Nasional 2025, BRI KC Pemalang Berikan Bunga Mawar, Kue dan Cokelat untuk Nasabah Agung Dewanto: Tak Ada Blok-blokan, Kader Penuhi Syarat Silahkan Daftar untuk Jadi Ketua DPC PDIP Pemalang Banteng Senior se-Jateng Dikumpulkan di Panti Marhaen, Ini Kata Slamet Efendi

Opini

Saat Keinginan Tidak Menjadi Ambisi: Pelajaran dari Abu Dzar Al-Ghifari

badge-check


					dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua Perbesar

dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua

Oleh : dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua*

WARTANASIONAL.COM – Sobat Inspiratif.. Pernahkah kita berfikir untuk menjadi orang yang berkuasa? Jadi ketua RT ketua RW, kepala sekolah, lurah, camat Kepala dinas dan seterusnya.

Banyak orang menganggap bahwa memiliki jabatan adalah tanda keberhasilan, simbol kehormatan, atau bahkan sarana untuk berbuat kebaikan. Tidak jarang, keinginan ini muncul dengan niat yang tulus, merasa mampu membawa perubahan atau menegakkan keadilan. Namun, tidak semua orang ditakdirkan untuk memegang kekuasaan, dan tidak semua yang berilmu atau saleh cocok menjadi pemimpin.

Inilah pelajaran berharga dari kisah seorang tokoh yang berilmu dan dekat dengan kekuasaan tetapi tidak diberi kekuasaan oleh penguasa saat itu.

Beliau adalah salah satu tokoh yang dikenal karena keteguhan, keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran, serta kesederhanaannya dalam menjalani hidup. bahkan karena keberaniannya sempat menyuarakan kebenaran di depan umum sampai dipukuli massa. Tapi beliau tidak gentar tetap tegak dalam menyuarakan kebenaran.

Beliau adalah Abu Dzar Alghifari, bukan hanya seorang yang berilmu dan saleh, tetapi juga sangat dekat dengan pemimpin besar Umat Islam, Muhammad ﷺ. Namun ada satu kisah menarik penuh hikmah dalam perjalanan kehidupannya yang patut menjadi pelajaran buat kita semua.

Suatu hari Abu Dzar datang kepada Muhammad ﷺ dan meminta amanah untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Permintaannya bukan karena ambisi atau kecintaan terhadap kekuasaan, melainkan karena *ingin berkontribusi lebih besar dalam pemerintahan. Dengan integritas yang tinggi dan ketulusan hati, ia merasa mampu menjalankan tugas tersebut dengan baik.

Namun Muhammad ﷺ dengan penuh kasih sayang menolak permintaan Abu Dzar untuk menduduki jabatan tersebut. Beliau bersabda:

“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, sementara jabatan itu adalah amanah. Dan pada hari kiamat, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi mereka yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan kewajibannya dengan baik.” (HR. Muslim)

Penolakan ini bukan karena Abu Dzar tidak jujur atau kurang berilmu, tetapi Muhammad ﷺ memahami bahwa seorang pemimpin – di semua tingkatan bahkan pemimpin keluarga – membutuhkan lebih dari sekadar keimanan dan integritas. Seorang pemimpin harus mampu mengelola berbagai urusan dengan kebijaksanaan, diplomasi, dan kesabaran dalam menghadapi masyarakat yang beragam. Abu Dzar adalah seorang yang memiliki sifat yang tegas dalam menegakkan kebenaran, tetapi bisa jadi menjadi kurang fleksibel dalam menghadapi tantangan sosial dan politik yang membutuhkan strategi yang lebih halus.

Kemudian bagaimana sikap Abu Dzar setelah permintaannya ditolak? Apakah ia kecewa, merasa tersisih, atau justru “mutung” , tidak mau kerja dengan baik lagi atau asal asalan dalam bekerja? Tidak. Justru beliau menerima keputusan itu dengan keikhlasan dan kebesaran hati.
Beliau tidak marah, tidak membantah, dan tidak menyalahkan siapa pun. Sebaliknya Abu Dzar tetap dalam barisan, tetap mendukung penuh pimpinan dengan dedikasi tinggi. Lalu beliau memilih menjauhi pertarungan kekuasaan dan menjalani hidup dalam kesederhanaan.

Abu Dzar menghabiskan sisa hidupnya dengan zuhud, menghindari kekuasaan, dan terus mengingatkan umat Islam agar tidak terjerat dalam ambisi duniawi yang berlebihan. Ia memilih hidup dalam kesunyian, lebih banyak menghabiskan waktu dalam ibadah, dan tetap teguh dalam prinsipnya.

Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua keinginan harus diwujudkan menjadi ambisi. Terkadang, sesuatu yang kita anggap baik belum tentu cocok untuk kita. Allah memiliki rencana yang lebih baik sesuai dengan kapasitas dan keikhlasan kita. Abu Dzar Al-Ghifari adalah contoh nyata bagaimana seseorang bisa tetap teguh dalam prinsipnya, meskipun harapannya tidak menjadi kenyataan. Keikhlasan menerima keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan adalah bagian dari kebesaran hati dan tanda kedewasaan iman.

*) Dokter yang juga aktivis sosial kemasyarakatan serta pegiat dunia digital ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Bandingkan Pendapatan Anggota Dewan Berdasarkan Prinsip Setara

3 September 2025 - 02:13 WIB

Dr. Emrus Sihombing

Nilai-nilai Pancasila sebagai Alat Perekat Persatuan Bangsa

1 September 2025 - 06:10 WIB

Energi Masyarakat yang Terkuras oleh Kebijakan Pemerintah Daerah

14 Agustus 2025 - 10:48 WIB

Ketua Yayasan Institut Agama Islam Pemalang, Heri

Upaya Munaslub Golkar Menguat dan Kabarnya Sudah Dapat Restu Istana, Apakah Sekedar Wacana Saja?

31 Juli 2025 - 05:54 WIB

Bahlil Lahadalia

Zohran Mamdani: Harapan dari Minoritas untuk Mewarnai Politik Amerika

2 Juli 2025 - 04:09 WIB

Ciptadi Prasetyo, ST
Trending di Opini
error: Content is protected !!