Oleh : dr. Darmanto, SH, M.Kes, SpPD, FINASIM, FISQua*
WARTA NASIONAL – Tujuh puluh lima tahun adalah perjalanan panjang sebuah organisasi profesi yang tumbuh bersama denyut nadi bangsa. Sejak kelahirannya pada 24 Oktober 1950, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi rumah bagi dokter-dokter yang mengemban sumpah untuk menjaga nyawa, menyembuhkan sakit, dan merawat manusia dengan segenap kemanusiaannya.
Di usia ke-75 ini, IDI tidak sekadar merayakan angka, tetapi menghayati makna: bagaimana profesi dokter tetap teguh berdiri di tengah gelombang perubahan zaman, regulasi, dan tantangan kesejahteraan yang belum selesai.
Jejak Pengabdian yang Tak Pernah Padam
Salah satu kisah nyata yang menggambarkan roh pengabdian dokter Indonesia adalah perjalanan dr. Lo Siaw Ging dari Surakarta. Selama lebih dari lima puluh tahun, beliau melayani masyarakat kecil tanpa memungut bayaran. Ia dikenal sebagai “dokter rakyat” sederhana, bersahaja, namun teguh menjaga sumpah profesinya.
Ketika banyak dokter memilih jalur nyaman, beliau tetap setia di klinik kecilnya yang berdinding kayu, menolak menutup praktik meski usia sudah senja. Kisah hidup dr. Lo menjadi cermin bahwa panggilan dokter bukanlah sekadar pekerjaan, tetapi ibadah sosial yang menembus batas kepentingan pribadi.
Pengabdian seperti itu masih kita lihat di berbagai pelosok negeri. Di Kalimantan, seorang dokter muda setiap hari menyeberangi sungai selama tiga jam hanya untuk membuka layanan di desa tanpa akses jalan darat. Di NTT, dokter puskesmas harus membawa obat dengan motor tua, menempuh perjalanan curam demi satu pasien yang menunggu. Mereka bekerja dalam kesunyian, jauh dari sorotan kamera, tanpa publikasi, tanpa bonus hanya berbekal panggilan hati.
Namun, di balik kisah heroik itu, ada kelelahan yang nyata. Banyak dokter harus berjuang di tengah sistem kesehatan yang penuh beban administratif: laporan yang menumpuk, sistem klaim yang rumit, serta birokrasi yang menyita waktu lebih banyak daripada pasien itu sendiri. Seorang dokter di Jakarta pernah menulis, “Saya menghabiskan dua jam untuk pasien, dan empat jam untuk menulis laporan klaimnya.” Itulah realitas yang kini dihadapi banyak dokter — profesional yang berperang di dua dunia: dunia kemanusiaan dan dunia administrasi.
Regulasi Baru dan Posisi yang Terguncang
Puncak kegelisahan itu datang dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Banyak pasal dalam regulasi baru ini yang mengubah wajah tata kelola profesi kedokteran.
IDI, yang selama puluhan tahun menjadi satu-satunya organisasi profesi dokter, kini tidak lagi diakui secara eksplisit sebagai wadah tunggal. Fungsi kolegium yang selama ini otonom di bawah organisasi profesi kini dialihkan ke struktur di bawah kementerian.
Perubahan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah semangat profesionalisme dan independensi dokter masih akan terjaga ketika organisasi profesinya dilemahkan secara struktural? IDI bukan hanya wadah administrasi; ia adalah benteng moral yang menjaga etika, mengawal kompetensi, dan memperjuangkan marwah profesi di tengah kepentingan politik dan ekonomi kesehatan.
Sebagian kalangan menilai UU ini sebagai langkah modernisasi sistem kesehatan. Namun sebagian lain melihatnya sebagai kemunduran dalam kemandirian profesi. PB IDI bahkan telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas beberapa pasal yang dianggap mengancam otonomi profesi dan peran kolegium.
Kesejahteraan dan Beban yang Tak Seimbang
Di tengah gejolak regulasi, isu kesejahteraan dokter juga masih menjadi luka lama. Dokter di daerah terpencil kerap bekerja dengan fasilitas terbatas, insentif kecil, bahkan tanpa jaminan keamanan. Sementara di kota besar, dokter menghadapi tekanan kerja tinggi, jam praktik panjang, dan sistem pembayaran yang tidak selalu adil.
Beban administratif yang berlebihan juga menambah kelelahan psikis. Alih-alih berfokus pada pasien, dokter terjebak dalam tumpukan laporan klaim, kode INA-CBG, verifikasi BPJS, dan audit berlapis. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa burnout di kalangan tenaga kesehatan meningkat pesat akibat tekanan birokrasi yang berlebihan.
UU 17/2023 memang menjanjikan perlindungan hukum dan tunjangan bagi tenaga medis di daerah. Namun, janji itu belum banyak terasa di lapangan. Realisasi kebijakan sering lambat, dan dokter di garda depan masih harus berjuang dengan cara mereka sendiri mengandalkan solidaritas, semangat pengabdian, dan rasa tanggung jawab yang tak tergantikan oleh aturan mana pun.
IDI dan Makna Pengabdian di Usia 75 Tahun
Kini, di usia 75 tahun, IDI menghadapi dua tantangan besar: menjaga marwah profesi dan menyesuaikan diri dengan lanskap hukum yang baru. Tugas ini bukan perkara mudah, tetapi juga bukan alasan untuk menyerah. Justru di tengah tekanan itulah, nilai sejati IDI diuji apakah ia akan menjadi sekadar organisasi formal, atau tetap menjadi rumah nurani bagi para dokter di seluruh penjuru negeri.
IDI harus terus memperjuangkan kesejahteraan anggotanya, menyederhanakan beban administratif, dan memastikan setiap dokter mendapatkan perlindungan hukum yang layak. Namun lebih dari itu, IDI harus menjadi mercusuar moral di tengah komersialisasi layanan kesehatan: mengingatkan bahwa profesi dokter bukan hanya urusan bisnis, tetapi soal kemanusiaan.
Penutup
Perjalanan 75 tahun IDI adalah kisah tentang keyakinan bahwa menolong manusia bukan sekadar tugas, tetapi panggilan jiwa. Tentang dokter-dokter yang terus berdiri, bahkan ketika sistem belum sepenuhnya berpihak. Tentang organisasi yang lahir dari idealisme, tumbuh dari pengorbanan, dan kini berjuang agar tetap relevan dalam dunia yang berubah cepat.
Selamat ulang tahun ke-75, Ikatan Dokter Indonesia.
Tetaplah menjadi penjaga nurani profesi, pengawal etika bangsa, dan pengingat bahwa kesehatan Indonesia bukan hanya tanggung jawab negara tetapi juga amanah kemanusiaan.
Pemalang 24 Oktober 2025
*) Dokter yang juga aktivis sosial kemasyarakatan dan pegiat sosial



















